PENGERTIAN PENGGUNA JASA,PENYEDIA JASA DAN AUDITOR KONSTRUKSI

PENGERTIAN pengguna JASA KONSTRUKSI
Pengertian “konstruksi” adalah suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana yang meliputi pembangunan gedung (building construction), pembangunan prasarana sipil (Civil Engineer), dan instalasi mekanikal dan elektrikal.  Walaupun kegiatan konstruksi dikenal sebagai suatu pekerjaan, tetapi dalam kenyataannya konstruksi merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan lain yang berbeda yang dirangkai menjadi satu unit bangunan, itulah sebabnya ada bidang/sub bidang yang dikenal sebagai klasifikasi.
Menurut Undang-undang tentang Jasa konstruksi, “Jasa Konstruksi” adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.  “Pekerjaan Konstruksi” adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan.
Dari pengertian dalam UUJK tersebut maka dalam masyarakat terbentuklah “USAHA JASA KONSTRUKSI”, yaitu usaha tentang “jasa” aatau services di bidang perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi yang semuanya disebut “PENYEDIA JASA”
Disisi lain muncul istilah “PENGGUNA JASA” yaitu yang memberikan pekerjaan yang bisa berbentuk orang perseorangan, badan usaha maupun instansi pemerintah.
Pada umumnya kegiatan konstruksi dimulai dari perencanaan yang dilakukan oleh konsultan perencana (team Leader) dan kemudian dilaksanakan oleh kontraktor konstruksi yang manajer proyek/kepala proyek.  Orang-orang ini bekerja didalam kantor, sedangkan pelaksanaan dilapangan dilakukan oleh mandor proyek yang mengawasi buruh bangunan, tukang dan ahli bangunan lainnya untuk menyelesaikan fisik sebuah konstruksi.  Transfer perintah tersebut dilakukan oleh Pelaksana Lapangan.  Dalam pelaksanaan bangunan ini, juga diawasi oleh Konsultan.
Dalam melakukan suatu konstruksi biasanya dilakukan sebuah perencanaan terpadu.  Hal ini terkait dengan metode penentuan besarnya biaya yang diperlukan, rancang bangun, dan efek lain yang akan terjadi saat pelaksanaan konstruksi.  Sebuah jadual perencanaan yang baik, akan menentukan suksesnya sebuah bangunan yang terkait dengan pendanaan, dampak lingkungan, keamanan lingkungan, ketersediaan material, logistik, ketidaknyamanan publik terkait dengan pekerjaan konstruksi, persiapan dokumen tender, dan lain sebagainya.
Sehingga pengertian utuhnya dari Usaha Jasa Konstruksi adalah salah satu usaha dalam sektor ekonomi yang berhubungan dengan suatu perencanaan atau pelaksanaan dan atau pengawasan suatu kegiatan konstruksi untuk membentuk suatu bangunan atau bentuk fisik lain yang dalam pelaksanaan penggunaan atau pemanfaatan bangunan tersebut menyangkut kepentingan dan keselamatan masyarakat pemakai/pemanfaat bangunan tersebut, tertib pembangunannya serta kelestarian lingkungan hidup.
Ada 3 (tiga) katagori kegiatan yang tercakup dalam jenis usaha jasa konstruksi menurut UU No. 18 Tahun 1999, yaitu :
1.      perencana konstruksi yaitu yang memberikan layanan jasa perencanaaan dalam konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, ini umumnya disebut Konsultan Perencana.
2.      pelaksana konstruksi yaitu yang memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi, yang umumnya disebut Kontraktor Konstruksi.
3.      pengawasan konstruksi yaitu kegiatan yang memberikan layanan jasa pengawasan baik sebagian atau keseluruhan pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan  sampai dengan penyerahan akhir konstruksi, ini biasa disebut Konsultan Pengawas.
Perusahaan jasa konstruksi yang diperbolehkan berusaha adalah :
1.      Perusahaan Badan Usaha Nasional berbadan hukum yang dibagi dalam :
         a. Perusahaan Nasional berbadan hukum seperti Perseroan terbatas
         b. Perusahaan bukan berbadan hukum seperti CV, Fa, Pb, Koperasi, dsb.
    2. Badan Usaha asing yang dipersamakan.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008
Berikut ini sedikit ringkasan dari PP No 51 tahun 2008 dimaksud.
a. Dalam PP ini, yang dimaksud dengan :
  1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi; layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi; dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
  2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup ekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
  3. Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
  4. Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yangmampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan dan pembangunan (enggineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build)
  5. Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal sampai selesai dan diserahterimakan.
  6. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
  7. Penyedia Jasa adalah Orang Pribadi atau badang termasuk bentuk usaha tetap yang kegiatan  usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksanan konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
  8. Nilai Kontrak Jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.
b. Atas Penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final
c. Tarif PPh untuk usaha  Jasa Konstruksi adalah sbb :
  1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  2. 4% (empat persen) untuk pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  3. 3% (tiga persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa dimaksud dalam point 1 dan 2 di atas [atau dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi menengah atau kualifikasi usaha besar];
  4. 4% (empat persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6% (enam persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
d. Dalam hal penyedia jasa adalah Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka tarif tersebut tidak termasuk Branch Profit Tax(PPh pasal 26 ayat 4).
e. Sisa laba dari BUT setelah PPh yang bersifat final, dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan pasal 26 (4) UU PPh atau sesuai Tax Treaty
f. Tatacara pembayaran PPh yang bersifat final tersebut :
  1. dipotong oleh pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak
  2. disetor sendiri oleh penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong Pajak.
g. Besarnya PPh yang dipotong atau disetor sendiri adalah :
  1. jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN dikalikan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) PP 51 tahun 2008; atau
  2. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) PP 51 tahun 2008 dalam hal PPh disetor sendiri oleh Penyedia Jasa
h. Masa Peralihan
Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur :
  1. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan anggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh diatur berdasarkan PP No 140 tahun 2000 tentang PPh atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
  2. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan PPh berdasarkan PP 51 tahun 2008


2.    PENYEDIA JASA KONSTRUKSI
Banyak motivasi wajib pajak melakukan permohonan Keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan pajak, beberapa diantaranya karena wajib pajak yakin ada kesalahan dalam penetapan pajaknya dan ingin disesuaikan, seperti kasus sengketa yang akan penulis uraikan berikut ini tentu sesuai sudut pandang penulis dalam menginterprestasikan suatu ketentuan perpajakan. Adapun kasus sengketa kali ini penulis rangkai dan beri judul ” Sekilas Tentang Jasa Konstruksi”.
Tulisan ini bermula saat penulis yang bertugas sebagai penelaah keberatan, disodori beberapa bukti untuk mendukung keberatan wajib pajak atas suatu produk ketetapan SKPKB PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu biaya-biaya pengeluaran real atas barang yang meliputi pembayaran instalasi listrik, pembelian material, dan lain-lain dalam rangka pekerjaan konstruksi dengan penegasan bahwa biaya tersebut bukanlah fee yang diterima yang harus dikenakan pajak. Dalam kasus ini menurut penelaahan penulis ada salah persepsi tentang penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Jasa Konstruksi yang adalah merupakan pengenaan pajak yang bersifat Final.
Seperti diketahui bersama bahwa Jasa Konstruksi adalah salah satu jenis jasa yang atas penghasilannya dikenakan PPh Final  hal ini berlaku sejak tahun 2008 saat diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Sebelumnya dalam PP 140 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi dijelaskan bahwa secara umum penghasilan atas jasa konstruksi tidak bersifat Final.
Pengenaan PPh Final sendiri bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih  memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Implementasi PP Nomor 51 Tahun 2008 
Pengertian
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Subjek Pajak
Subjek pajak dalam hal ini adalah Kontraktor atas Pelaksanaan Konstruksi tersebut yaitu orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
Objek Pajak
Kontraktor yang meliputi orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli dan profesional tersebut diatas, akan dikenakan Pajak Penghasilan dari kegiatan yang meliputi :
1.      Jasa Perencanaan Konstruksi, yaitu pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
2.      Jasa Pelaksanaan Konstruksi, pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
3.      Jasa Pengawasan Konstruksi, pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Tarif PPh Final
Dalam PP 51 dijelaskan bahwa Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut :
Jasa Perencanaan Konstruksi
·         4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
·         6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Jasa Pelaksanaan Konstruksi
·         2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
·         4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
·         3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa.
Jasa Pengawasan
·         4% (empat persen) untuk Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
·         6% (enam persen) untuk  Pengawasan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Dasar Pengenaan Pajak
Penghitungan PPh Final atas Jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam PMK-187/PMK.03/2008 Pasal 4 ayat (2) dan (3)  adalah sebagai berikut :
·         Jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikalikan tarif Pajak Penghasilan atas jenis Jasa Konstruksi yang dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak.
·         Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan atas jenis Jasa Konstruksi yang disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.
Berdasarkan ketentuan ini dapat diperjelas bahwa nilai yang dimaksud adalah sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 4 ayat (4)  yaitu  Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran  yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, dimana Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan (termasuk di dalamnya Jasa/Fee dan Material).
Saat Terutang
Berdasarkan pasal yang sama yaitu Pasal 4 PMK-187/PMK.03/2008 disimpulkan bahwa saat terutang PPh Final atas Jasa konstruksi adalah Saat Pembayaran atau diterimanya pembayaran (cash basis) bukan saat munculnya piutang (accrual basis).
Pemotongan Oleh Pengguna Jasa
Dalam Pasal 4 ayat (1) PMK-187/PMK.03/2008 dijelaskan bahwa atas pembayaran atau pelunasan PPh Final atas Jasa Konstruksi dilakukan melalui :
1.      Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
2.      Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.




Saat Pemotongan PPh Final Jasa Konstruksi
Pada tanggal 18 Juli 2013 PT. Nusahati menerima tagihan dari PT. Nusa Karya atas proyek pembangunan gedung milik PT. Nusahati. Kemudian pembayaran tagihan itu dilakukan pada bulan 17 Agustus 2013. Maka pemotongan PPh Final jasa konstruksi wajib dilakukan pada bulan Agustus 2013 (bulan pembayaran), hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 187/PMK.03/2008. Adapun  masa pemotongan PPh ini dibuktikan dengan tanggal yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Final dimana, untuk tagihan tersebut tanggal yang harus tercantum dalam bukti pemotongan PPh maksimal tanggal 31 Agustus 2013.
Saat Penyetoran PPh Final Jasa Konstruksi
PPh Final jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final jasa konstruksi.
Mengacu pada contoh di atas, PT. Nusahati diwajibkan menyetorkan PPh Final jasa konstruksi yang dipotong tersebut paling lambat pada tanggal 10 September 2013. Jika tanggal 10 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyetoran PPh Final dilakukan dengan menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final jasa konstruksi yang dipotong di bulan yang bersangkutan.
Saat Pelaporan SPT Masa PPh Final Jasa Konstruksi
Pelaporan PPh Final jasa konstruksi dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh Final lainnya (seperti pemotongan PPh Final sewa tanah/bangunan, dividen). Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04—dan disampaikan ke KPP tempat pemotong PPh terdaftar.
Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final. Seperti contoh di atas, PT Nusahati wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) ke KPP tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 September 2013. Dan jika tanggal 20 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penyetoran Sendiri Oleh Kontraktor
Apabila pengguna jasa bukan pemotong PPh, maka kontraktor selaku pemberi jasa dan penerima penghasilan wajib menyetorkan sendiri PPh Final yang terutang tersebut.
1.      Penyetoran sendiri PPh Final oleh si pemberi jasa dilakukan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran (cash basis). Jika tanggal 10 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyetoran sendiri PPh Final dilakukan dengan menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final jasa konstruksi di bulan yang bersangkutan yang belum dipotong oleh pengguna jasa.
2.      Pelaporan sendiri PPh Final jasa konstruksi oleh kontraktor yang melakukan penyetoran sendiri juga dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh Final lainnya (seperti PPh Final sewa tanah dan bangunan, dan PPh Final lainnya yang tidak dipotong oleh pengguna jasa). Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04—dan disampaikan ke KPP tempat kontraktor terdaftar. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran imbalan jasa konstruksi. Dan jika tanggal 20 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penyetoran sendiri PPh Final jasa konstruksi ini juga seringkali diminta untuk dilakukan apabila kontraktor tidak dapat memperlihatkan kepada pemeriksa pajak formulir bukti pemotongan PPh Final dari si pengguna jasa. Dalam hal ini besar kemungkinan kontraktor dapat dikenai sanksi bunga karena dianggap terlambat menyetorkan sendiri PPh Final tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan PP 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah terakhir dengan PP 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, dan PMK-187/PMK.03/2008 sebagaimana diubah terakhir dengan PMK-153/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, Dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi serta SE-05/PJ.03/2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, maka dapat lah disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Pengenaan PPh Final bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih  memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.      Dalam penghitungan Pajak Penghasilan Final, dihitung berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu jumlah pembayaran/jumlah penerimaan pembayaran  yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, dimana Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan (termasuk di dalamnya Jasa/Fee dan Material).
3.      Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Maka sesuai dengan kasus yang penulis tangani di atas, atas keberatan wajib pajak terkait sengketa DPP Jasa Konstruksi dimana pemeriksa menggunakan dasar penghitungan berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi sudah tepat walaupun wajib pajak dapat memisahkan material dan jasa yang diberikan kepada Penyedia Jasa, yang membuat saya bertanya dari mana wajib pajak memiliki bukti pembelian material yang meliputi semen, pasir besi uril dan lain sebagainya? karena wajib pajak sendiri mengakui bahwa kegiatan membangun tidak dilakukan oleh perusahaan sendiri melainkan oleh Penyedia Jasa Konstruksi…. tapi sudahlah… toh seorang penelaah tidak elok mempertanyakan hal-hal di luar sengketa :D.
Dasar Hukum
·         UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (Pasal 4 ayat (2) huruf d)
·         PP 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah terakhir dengan PP 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
·         PMK-187/PMK.03/2008 sebagaimana diubah terakhir dengan PMK-153/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, Dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi.
·         SE-05/PJ.03/2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi

3 HAL PENTING SEPUTAR USAHA JASA KONSTRUKSI YANG WAJIB DIPAHAMI

Upaya penyelesaian sengketa konstruksi meliputi Mediasi, konsiliasi; dan arbitrase. Yang menarik adalah dalam UU No.2/2017 mengatur selain tahapan penyelesaian ini, para pihak dalam hal ini penyedia dan pengguna jasa konstruksi dapat membentuk dewan sengketa.”
Di beberapa kesempatan kami sering ditanyakan terkait masalah hukum konstruksi, misalnya,: “aspek hukum apa saja yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi?”
Sebelum penjelasan ini lebih jauh, perlu untuk kita pahami apa yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi, dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi (“UU No. 2/2017”) bahwa:
“Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.”
Jadi, pekerjaan pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan maupun pembongkaran, hingga pembangunan kembali suatu bangunan jelas termasuk dalam pekerjaan konstruksi.
Perlu juga  diketahui bahwa Badan Usaha Jasa Konstruksi sesuai dengan UU No.2/2017, mempunyai kualifikasi kecil, menengah dan besar, hal ini dilihat dari penjualan tahunan, kemampuan keuangan, ketersediaan tenaga kerja konstruksi dan kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi. Kualifikasi untuk menentukan batasan dan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha jasa konstruksi.
Misalnya, Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko sedang; berteknologi madya; dan berbiaya sedang. Sebaliknya, Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar yang berbadan hukum dan perwakilan usaha Jasa Konstruksi asing hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko besar, berteknologi tinggi; dan berbiaya besar.
Sehingga, menjadi penting bagi para pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang konstruksi untuk memahami hal apa saja yang wajib diketahui dalam menjalankan usahanya. Hal ini agar tidak menimbulkan kerugian dikemudian hari yang lebih besar, setidaknya dapat mencegah terjadinya perselisihan diantara pengguna dan penyedia jasa konstruksi.
1.      Legalitas Usaha Jasa Konstruksi
Setiap usaha orang perseorangan yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi menurut UU No. 2/2017 wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan. Begitu juga Setiap badan usaha Jasa Konstruksi yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib memiliki Izin Usaha.
Tanda Daftar Usaha Perseorangan diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya. Kewenangan ini juga sama untuk Izin Usaha yang berlaku bagi Badan Usaha atau Badan Hukum.
Meskipun pemberian izin dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/kota, tetapi Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan berlaku untuk melaksanakan kegiatan Usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Khusus untuk Badan Usaha Konstruksi menurut UU No. 2/2017 diwajibkan memiliki Sertifikasi Badan Usaha (SBU), sertifikasi ini paling sedikit memuat jenis usaha, sifat usaha, klasifikasi dan kualifikasi usaha. Untuk mendapatkan Sertifikat Badan Usaha, pelaku usaha atau badan usaha Jasa Konstruksi harus mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga Sertifikasi Badan Usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi.
Yang tidak kalah pentingnya, terkait dengan pengakuan pengalaman usaha, dalam UU No. 2/2017 juga dikatakan bahwa setiap badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah dan besar harus melakukan registrasi pengalaman kepada Menteri.
Registrasi ini dibuktikan dengan adanya tanda daftar pengalaman. Daftar pengalaman ini, paling tidak terdapat nama paket pekerjaan, pengguna jasa, tahun pelaksanaan pekerjaan, nilai pekerjaan dan kinerja penyedia jasa. Semua data pengalaman menyelenggarakan Jasa Konstruksi tersebut harus yang sudah melalui proses serah terima.
2.      Kewajiban dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa Konstruksi
Tanggung jawab dalam pelaksanaan jasa kontruksi dalam hal ini berkaitan dengan kegagalan bangunan, Menurut Pasal 1 angka (10) UU No.2/2017 bahwa Kegagalan Bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
Kewajiban dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa harus memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan (SK4)). Hal ini diatur dalam Pasal 59 UU No.2/2017. Berkaitan hal ini maka ada kewajiban baik kepada pengguna jasa maupun penyedia jasa konstruksi agar memberikan pengesahan atau persetujuan terhadap beberapa hal, antara lain:
1.      Hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
2.      Rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
3.      Pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
4.      Penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi; dan/atau
5.      Hasil layanan Jasa Konstruksi
Sebab, apabila terjadi kegagalan bangunan, maka akan dilihat waktu kegagalan tersebut terjadi, untuk menentukan siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban. Pengaturannya sebagaimana dalam Pasal 65 UU No. 2/2017, yang menyatakan:
6.      Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi.
7.      Dalam hal rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi.
8.      Pengguna Jasa bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
9.      Ketentuan jangka waktu pertanggungjawaban atas Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dinyatakan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Kenapa harus ditentukan pertanggungjawaban atas kegagalan ini? Sebab UU No. 2/2017 mengatakan ada kewajiban baik Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa untuk memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan
3.      Kontrak Kerja Konstruksi 
Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Hal secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017”).
Menurut pengaturannya, kontrak kerja konstruksi paling tidak mencakup pengaturan mengenai:
1.      Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
2.      Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
3.      Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
4.      Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
5.      Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
6.      Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
7.      Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
8.      Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9.      Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10.  Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
11.  Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
12.  Pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13.  Pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
14.  Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
15.  Jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
16.  Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
Dari pemahaman di atas, menunjukan betapa penting bagi para pelaku usaha baik sebagai pengguna maupun penyedia jasa khususnya yang berkaitan dengan Jasa konstruksi dituntut untuk mengerti dan memahami secara cermat segala sesuatu yang dituangkan kontrak kerja konstruksi.
Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Namun, apabila dalam hal musyawarah para tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip
profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
Artinya, para pihak harus menunjuk pihak lain yang dianggap kompeten dan mempunyai pengalaman dalam hal penyelesaian sengketa.
3.    AUDITOR

Audit Konstruksi Proyek Infrastruktur

LAGI-LAGI konstruksi bangunan dan fasilitas publik kembali menelan korban. Kali ini beton dinding underpass Bandara Soekarno-Hatta sepanjang 20 meter ambruk karena longsor sepanjang jalan underpass. Dua orang karyawan maintenance Garuda yang sedang melintas di bawah konstruksi underpass menjadi korban, satu meninggal dan satunya masih dirawat di RS. Kejadian ambrolnya konstruksi underpass seolah mengikuti jejak gagal konstruksi yang semakin sering terjadi dan menelan banyak korban akhir-akhir ini. Tercatat dalam 2 bulan terakhir sudah terjadi lima kali bencana infrastruktur.
Berbagai bencana konstruksi bangunan dan fasilitas publik itu sebenarnya tidak semata lantaran gagalnya sistem antisipasi bencana alam dalam desain konstruksi infrastruktur nasional kita, tetapi juga disebabkan tingginya intensitas bencana alam dan lingkungan itu. Hujan deras yang terus terjadi memicu banjir, tanah longsor, rekahan, hingga ambles. Belum lagi, bencana gempa juga telah berkontribusi pada perubahan struktur dan daya tahan bangunan.
Sayangnya, berdasarkan pendapat pakar manajemen infrastruktur, Muhamad Ale Berawi (2018), banyaknya kecelakaan dan intensitas bencana infrastruktur terjadi lebih karena kegagalan konstruksi. Dinilai gagal karena usia bangunan infrastruktur atau fasilitas publik itu masih seusia jagung. Konon, bangunan infrastruktur itu sudah diuji daya tahannya termasuk uji kualitas konstruksi berkali-kali hingga sudah layak dipergunakan untuk umum.
Mendesak audit rutin
Era pemerintahan Jokowi di periode pemerintahan pertama ini memang tergolong paling agresif dalam pembangunan proyek infrastruktur. Bayangkan hanya kurang dari empat tahun ini, pemerintah sudah mampu membangun jalan, jembatan, bendungan, bandara, serta pelabuhan sepanjang 878 km, yang berarti hampir 15 kali panjang infrastruktur yang dibangun pada era pemerintahan sebelumnya. Genjotan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata di seluruh RI memang direspons positif, khususnya bagi kalangan usaha dan investasi nasional dan asing. Karena dengan hadirnya infrastruktur yang baik dengan standar yang layak tak hanya mampu meningkatkan akses kemudahan transportasi nasional. Namun, secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi nasional di mata investor asing. 
Tercatat, terjadi kenaikan minat investasi asing di RI mencapai rata-rata 23%, pascapemerintah membangun infrastruktur yang masif dan merata di hampir seluruh Indonesia. Sayangnya, pascakebijakan infrastruktur yang agresif itu, seperti juga terjadi pada proyek pemerintah yang lainnya, di saat yang sama pemerintah alpa melakukan pengawasan, khususnya audit terstruktur dan berkelanjutan terhadap daya tahan konstruksi infrastruktur. Uji kekuatan, keamanan, dan keselamatan infrastruktur secara rutin dan tuntas.
Harus diakui, sejak keran agresivitas proyek infrastruktur didengungkan pemerintah, audit yang dilakukan rutin hanya audit cost and benefit recovery. Hanya menilai dan menguji tingkat biaya dan waktu penyelesaian proyek, tanpa lebih komprehensif pada uji daya tahan, keamanan, keselamatan, serta respons intensitas bencana alam.
Bahkan untuk uji dan audit tingkat respons infrastruktur pada intensitas bencana alam, untuk menguji sejauhmana daya tahan konstruksi, justru sering terlupakan. Padahal, sebagaimana direkomendasikan Bank Dunia, dalam laporan evaluasi Infrastruktur Global (2017), setiap proyek infrastruktur diwajibkan melakukan audit konstruksi rutin/reguler. Apalagi, infrastruktur pada negara-negara miskin berkembang di dunia ketiga yang dicirikan dengan minimnya teknologi dan pemahaman baik atas berbagai potensi bencana alam yang ada.

Audit konstruksi rutin mendesak dilakukan. Bukan sekadar mengantisipasi potensi dan peluang bencana pascaselesainya proyek karena RI sudah lama dikenal sebagai wilayah ring of fire yang memiliki peluang bencana alam yang sangat tinggi, tetapi juga berperan strategis dalam upaya mencegah pemborosan dana negara.
Harus diakui proyek infrastuktur di Indonesia masih dikerjakan tradisional, termasuk dalam proses audit konstruksinya. Padahal di negara-negara maju, seperti Jepang, proses audit konstruksi terus-menerus dilakukan berbagai pihak dengan melibatkan semua komponen. Dengan membentuk tim audit konstruksi nasional yang keberadaannya hingga ke level pemerintah desa, infrastruktur diawasi sejak proses pembangunan fisik, hingga proyek tuntas.
Pemerintah Jepang memang menggalang dukungan publiknya untuk turut mengawasi proyek infrastruktur, termasuk berperan dalam mengingatkan berbagai hasil kerja yang dilakukan pekerja sehari-hari. Bahkan peran publik itu diakomodasi pemerintah dengan membangun desk audit infrastruktur hingga tingkat desa yang turut mengevaluasi kualitas proyek infrastruktur. Dengan keterlibatan publik itu, pemerintah Jepang, khususnya instansi yang terkait langsung dalam tugas standardisasi infrastruktur nasional, memperoleh data dan informasi akurat, serta mengetahui karakter serta struktur tanah dari warga sekitar lokasi.
Sayangnya di Indonesia nyaris tak pernah dikembangkan partisipasi publik dalan audit konstruksi infrastruktur. Apalagi, setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan infrastruktur (khususnya proyek pertolan berbayar), yang kian menjauhkan peran dan tanggung jawab publik untuk bersama pemerintah merawat keamanan, kekuatan dan keselamatan infrastuktur.
Pascapenyelesaian proyek hingga masa uji coba selesai, pengembang/kontraktor pembangunan proyek infrastruktur hanya berpikir ‘kapan balik modal’, an sich, tanpa berpikir lagi kekuatan konstruksi, keamanan, dan keselamatan bangunan yang bermakna bagi keamanan penggunanya.
Kalkulasi bisnis dan investasi yang menonjol tanpa diimbangi desain keamanan, kekuatan, dan keselamatan calon penggunanya. Di saat yang sama, sudah tak mau tahu dengan kondisi infrastruktur yang banyak mengancam keamanan dan keselamatan penggunanya. Sikap demikian disebabkan sistem tata kelola infrastruktur yang jauh dari partisipasi publik meski mereka merasakan perbaikan infrastruktur di mana-mana.
Oleh karena itu, guna mencegah peluang bencana infrastruktur terjadi di masa datang, pemerintah selaku regulator melalui instansi terkait harus terus melakukan inovasi sistem dan audit konstruksi, keamanan dan keselamatan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas teknologi audit infrastruktur guna memastikan bangunan infrastruktur yang dikerjakan tak hanya memiliki konstruksi teknis mumpuni dan teruji aman dalam jangka panjang, tetapi juga terbukti responsif menghadapi aneka bencana alam.
Hanya dengan itu, pembangunan proyek infrastruktur yang agresif di era Jokowi tak hanya untuk tujuan peningkatan daya saing investasi nasional an sich. Namun, sekaligus mampu meningkatkan derajat keamanan dan keselamatan rakyatnya sebagai pengguna kesehariannya.
Maka belajar dari maraknya bencana infrastruktur belakangan ini, pemerintah selaku regulator wajib menggelar audit konstruksi secara berkelanjutan. Pemerintah juga melakukan evalusi total pada proyek infrastruktur lainnya di berbagai daerah yang biasanya dikerjakan dengan target waktu mepet, dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan kebutuhan sehingga menyebabkan kualitas konstruksi dan daya tahan bangunan infrastruktur kurang mendapat perhatian.
Rakyat tidak berharap agresivitas proyek infrastruktur justru meningkatkan agresivitas bencana dengan menelan korban rakyat tak berdosa. Intensitas dan keberlanjutan audit infrastruktur semestinya berlangsung sepanjang massa, bukan sekadar diuji coba pascaproyek diserahkan kepada negara.


4.   5W+1H DALAM PERENCANAAN MANAJEMEN

 

PERENCANAAN

Menurut G.R.Terry unsur manajemen ada 4: POAC. Perencanaan pengawasan merupakan unsur manajemen. Perencanaan adalah : Keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, kapan dilakukan dan siapa yang akan melakuakan. Unsur administrasi ada 7 yaitu:
Ø Organisasi adalah : Kumpulan orang yang saling kerjasama dan mempunyai tujuan yang sama.
Ø Manajemen adalah : Pengaturan orang-orang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ø Keuangan.
Ø Kepimpinan adalah :Kemampuan seseorang untuk mengerakkan orang lain untuk berkerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Ø Humas.
Ø Perbekalan.
Ø Tata usaha.
Organisasi terbagi atas:
Ø Statis
Ø Dinamis.
Ada suatu target yang akan dicapai yaitu program. Di dalam suatu perencanaana ada 5 W dan 1H yaitu:- What, where, who, when. why. 3 kegiatan yang dilakukan didalam perencanaan yaitu:
Kegiatan pokok apa yang akan dilakuakn secara langsung dikerjakan pada pencapaian tujuan yang akan dicapai.
Kegiatan yang menunjang aktivitas yang mendukung tujuan teersebut.
Kegiatan Veterial : kegiatan yang tidak menunjang tetapi tidak sering dihindarkan yaitu: ppl dan pkl.

1. What :

Apa yang akan dilakukan atau dikerjakan.
Dana sumber yang didapat.
Dana apa yang akan dihubungkan.
Sdm.
Sarana dan prasarana agar tercapai.

2. Where:

Dimana kita melakukan kegiatan.
Berpegang kepada aspekbilitas ( kemampuan untuk menyelesaiakan diri ).
Tersedianya tenaga kerja yang memenuhi berbagai persyaratan guna menjamin kelancaran tugas.

3. When:

Kapan kita melakukan tugas.
Kemampuan untuk mengelola waktu.
Memilih waktu yang tepat untuk mengisi waktu yang luang.

4. Who
Menganalisis kebutuhan tenaga kerja baik kuantitatif maupun kwlalitatif.
Pola pembinaan karier.
Kebijaksanaan didalam pengolahan dan pengajian.
Metode dan teknik tentang pengadaan tenaga kerja yang akan dilaksanakan.

5. Why:
Rencana itu harus mempermudah suatu pekerjaan sehingga mudah dilaksanakan.
Rencana itu harus mempunyai rincian yang cermat.
Perencanan bukan merupakan suatu tindakan melainkan suatu proses. Suatu proses yang masih mempuyai suatu tindakan –tindakan untuk menuju suatu tujuan. Tidak dibatasi atas startegi yang akan dilakukan sebelum diambil suatu keputusan karena bisa saja terjadi perubahan. Contoh: GBHN. Kebijakasanan untuk mencapai tujuan. Adadua komponen dalam perencanaan :

1. Perencanan pesimis. Perencanaan yang tidak dapat dilaksankan.
2. Perencanan optimis. Terlaksana.

Definisi dan unsur-unsur perencanaan:
1. Garth N. Jone. Perencanaan adalah : Suatu proses pemilihan dan pengembangan dari pada tindakan yang paling baik untuk pencapaian tugas.
2. M. Farland. Perencanan adalah : Suatu fungsi dimana pimpinan kemungkinan menggunakan sebagian pengaruhnya untuk mengubah daripada wewenangnya.
Bagian atau unsur –unsur dari perencanaan:

Hasil akhir (The ends). Spesifikasi dari tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan bilamana kit akan mencapai.
2. Alat-alat yaitu : Pemilihan dari kebijaksaan,startegi, prosedur, dan prakteknya.
3. Sumber yaitu: Meliputi kwantitas mendapatakn dan mengalokasiakn bermacam macam sumber antara lain tenaga kerja keuangan.
4. Pelakasanan
5. Pengawasan.

Didalam perencanan ada beberapa tipe:
· Rencana –rencana strategi plans yaitu: perencanan yang dirancang untuk mrmenuhi tujuan organisasi yang mengimplemasikan misi yang memberikan alasan yang khas pada orang.
· Perencanan operasional yaitu: perencanan yang menguraiakan secara lebih terperinci bagaimana rencana startegi akan tercapai.
Langkah –langkah dalam penyusunan perencanaan:
· Menentukan misi dan tujuan. Perumusan misi dipengaruhi oleh nilai-nilai.
· Pengembangan profil perusahan dan biasanyan mencerminkan keadaan internal dan kemampaun seseorang atau perusahan.
· Analisa lingkungan external.Mengidentifikasi cara-cara dalam hal perubahan internal, politik, ekonomi, sosbud, dan teknologi secara tidak langsung mempengaruhi organisasi. Identifikasi dan analisis lingkungan ekternal dapat dilakuakn dengan berbagai metode permulaan
Proses perencanan stategi formal:

1. Pemahaman dan perumusan masalah. Untuk mempermudah manager untuk mengidenfikasi maka pertama kali :
Adakan dulu uji coba secara sistematis hubungan sebab akibat.
Carilah penyimpangan dan perubahan dari yang normal.
Konsultasi atau tanya jawab pada perusahan .
2. Pengumpulan dan analisa data yang relevan.

Pertama sekali manager harus mengumpulkan data apa yang diperlukan untuk memutuskan keputusan apa yang tepat untuk mendapatkan informasi yang tepat.
a. Pengembangan alternatif.
b. Kecendrungan untuk menerima alternatif keputusan yang pertma kali flexible sering mengidarkan pencapaian yang terbaik untuk masalah lainya. Pengembangan sejumalh alternatif memungkinkan manager menolak kecendrungan utuk membuat keputusanyang efektif.
c. Evaluasi alternatif.
Untuk menilai efektifitas ada 2 kriteria :
· Apakah alternatif realistik bila dihubungkan dengan tujuan dan sdm organisasi seberapa baik alternatif akan membantu pemecahan masalah.
· Apakah alternatif yang diberikan sudah merupakan alternatif terbaik.
Rencana – rencana operasional ada 2 Yaitu:

1.      Rencana tunggal (Single use plan), adalah menentukan langkah kegiatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan selesai apa bila sasaran sudah tercapai (hanya satu kali pakai)

Tipe – tipe rencana tunggal ada 3 yaitu:
a. Program yaitu : Serangkaian kegiatan yang mencakup luas yang dapat lihat didalamnya seperti langkah –langkah pokok untuk mencapai tujuan. Satuan program organisasi yang bertanggungjawab terhadap kegiatan urutan waktu dan untuk setiap tahap.
b. Proyek adalah: Rencana yang sekali pakai yang merupakan bagian terpisah dari program. Proyek merupakan alat dari proyek yang efektif yang mempunyai ruang lingup terbatas.
c. Anggaran adalah: Laporan sumber daya keuangan yang disusun untuk kegiatan –kegiatan tertentu dalam jangka waktu tertentu..

2.    Rencana – rencana tetap, yaitu pendekatan –pendekatan yang standart untuk penangaan situasi –situasi yang dapat dppikirkan dan terjadi secara berulang-ulang.Wujud dari rencana tetap adalah:

a. Kebijaksanan adalah: Pedoman untuk mengambil keputusan. Kebijakasanan batas dari penganbilan keputusan membuat keputusan apa yang diambil oleh seorang manajer.
b. Prosedur adalah: Proses untuk diketahui apa yang akan dilakukan dengan demikian langkah –langkah itu menjadi suatu yang rutin dan tugas dari pada adm yang bertujuan untuk menyerderhanakan supaya tidak berbelit-belit.
c. Aturan atau rulls adalah: Pernyataan atau ketetentuan bahwa suatu kegiatan tertentu tidak boleh dilakukan dalam melaksanakan aturan para anggota organisasi tidak mempunyai pilihan melainkan aturan tersendiri.

Kebaikan rencana-rancana dari startegi:
1. Memberikan pedoman yang konsisten bagi kegiatan organisasi.
2. Membantu para manajer dlam pengambilan keputusan.
3. Meminumkan kesalan karena sasaran dan tujuan dengan cepat dan tepat.
Kelemahan dari rencana Stategi:
1. Memerlukan investasi waktu yang cukup lama dan biaya serta orang yang cukup besar.
2. Cendrung membatasi organisasi hanya terdapat pilihan yang paling rasioanaldan bebas resiko.

Hambatan-hambatan dalam pembuatan rencana –rencana yang efektif:
1. Kurangnya pengetahuan dalam berorganisasi.
2. Kurangnya peb\getahuan lingkungan.
3. Ketidakmampuan terhadap peramalan efektif.
4. Kesulitan dari biaya.
5. Takut gagal.
6. Pengunaan dari SDM.

2. PENGAWASAN.
Pengawasan adalah proses pengamatan dari berbagai organisasi bahwa semua kegiatan yang dicapai dengan rencan selanjutnya. Sasaran pengawasan itu adalah untuk menunjukan kelemahan dan kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah agar tidak terulang kembali. Dalam pengawasan pendekatan tidak hanya dilakuakan secara taknik dan mekanistik tetapi digabungkan dengan pendekatan kepribadian dan pendekatan keprilakuan agar terjadi proses pengawasan yang mendapatkan hasil sesuai dengan harapan setiap organisasi. Adabeberapa hak yang bersipat fundamental supay pengawasan sesuai dengan rencana yaitu:

1. Berorientasi kepada Efisensi.
2. Berorientasi kepada Efektifitas.
3. Berorientasi kepada Produktifitas.
4. Pengawasan dilakukan pada saat kegiatan berlangsung.
5. Pengawasan dilakukan karena sikap manusia yang tidak terlepas dari kesalahan.
6. Pengawasan dilakukan sesuai dengan proses dasar pengawasan yang harus diketahui dan ditaati.

Jenis-jenis pengawasan.

1. Pengawasan dari dalam adalah: Pengawasan yang dilakuakan oleh aparat atau unit dari organisasi itu sendiri yang dibertundak atas nama pimpinan atau organisasi.
2. Pengawasan dari ektern adalah: Pengawasan yang dilakukan oleh organisasi yang dibentuk dari luar organisasi dan bertindak untuk organisasi itu sendiri atau pimpinan dan biasanya permintaan oleh perusahaan.
3. Pengawasan prepentif adalah: Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan atau dikerjakan yang bertujuan untuk mencegah kesalan yang terjadi.
4. Pengawasan represif adalah: Pengawasan yang dilakuakan pad saat kegiatan itu sudah berlangsung yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan pekrejaan.
Beberapa kegiatan sistem dalam pelaksanan Represif.

1. Sistem Komperatif.

a. Mempelajari laporan kemajuan dari pelaksanan pekerjaan dan dibandingkan jadwal rencana pelaksanaan.
b. Membandingkan laporan –laporan hasil pelaksanan pekerjaan dengan rencana yang telah diputuskan sebelumnya.
c. Adakah analisa terhadap perbedaan tersebut factor yang mempengaruhi.
d. Buatlah penilaian.
e. Buatlah keputusan terhadap usulan perbaikakannya maupun penyermpurnaan.

2. Sistem Preivikatif:
a. Tentukan ketentuan yang berhubungan dengan prosedur pemeriksaan.
b. Buatlah pemerikasaan secara priodik.
c. Pelajari laporan perkembangan dari hasil pelaksanaan.
d. Mengadakan penilaian.
e. Putuskan tindakan untuk membuat suatu keputusan.

3. Sistem Insepktif adalah: Mengecek kebenaran dari suatu laporan yang dibuat dari pihak petugas pelaksanaan.

4. Sistem Investikatif adalah: Sistem yang dilakuakan dengan menitiberatkan terhadap penyelidikan atau penelitian yang lebih dalam terhadap masalah yang bersifat negatif dan mengambil keputusan.

CONTOH KASUS YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERENCANAAN DAN PENGAWASAN

1. Penurunan kualitas pelayanan publik (teridentifikasi dari adanya keluhan pelanggan /

masyarakat) seperti misalnya :
Ø Beredarnya produk-produk makanan yang kurang memperhatikan standar kesehatan.
Ø Banyak beredarnya obat-obat palsu, pemalsuan produk-produk kosmetik, pemalsuan alat kesehatan dsb.

2. Terjadi penurunan pendapatan atau profit suatu perusahaan, namun tidak begitu jelas faktor penyebabnya. Serta berkurangnya kas perusahaan, biaya yang melebihi anggaran dan adanya penghamburan maupun inefisiensi dalam suatu perusahaan atau organisasi.
3. Ketidakpuasan pegawai (seperti misalnya adanya keluhan pegawai, produktifitas kerja yang menurun, dan lain sebagainya), Banyaknya pegawai atau pekerja yang menganggur dan tidak terorganisasinya setiap pekerjaan dengan baik, dsb.
Masalah ini sudah seharusnya menjadi tugas kita bersaman tidak hanya Pemerintah saja kita sebagai masyarakat juga harus peka terhadap lingkungan sekitar, untuk masalah kesehatan sebaiknya kita harus berhati-hati dalam membili produk-produk makanan, kosmetik, kesehatan dsb, agar lebih amannya kita dapat membelinya di tempat-tempat yang sudah terpercaya hindari belanja di took-toko atau warung-warung kecil usahakan membeli obat di apotk. Dan tugas pemerintah adalah mengatur , membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Diantara upaya kesehatan itu antara lain adalah pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat adiktif dan pengamanan makanan dan minuman. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, kemanan dan kemanfaatan. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan disamping Pemerintah yang memberikan izin terselenggaranya sarana kesehatan. Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyeleggaraan upaya kesehatan dan atau sarana kesehatan baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah berwenang mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Kesehatan ini.

4. Berkurangnya kas perusahaan, biaya yang melebihi anggaran dan adanya penghamburan maupun inefisiensi dalam suatu perusahaan atau organisasi serta terjadi penurunan pendapatan atau profit suatu perusahaan.
Hendaknya suatu perusahaan melakukan analisa laporan keuangan dengan benar karena analisis keuangan merupakan proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevalusi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk menentukan estimasi dan prediksi yang paling mungkin mengenai kondisi dan kinerja perusahaan pada masa mendatang. Agar biaya yang keluar tidak memenuhi anggaran dan lebih afektif dan efisian maka suatu perusahaan atau organisasi harus menerapkan fungsi perencanaan dan pengawasan dengan sebaik-baiknya. Dengan menetapkan pekerjaan yang sudah dilakukan, menilai dan mengoreksi agar pelaksanaan pekerjaan itu sesuai dengan rencana semula.

5. Ketidakpuasan pegawai (seperti misalnya adanya keluhan pegawai, produktifitas kerja yang menurun, dan lain sebagainya), tidak terorganisasinya setiap pekerjaan dengan baik, dsb.
Usahakan hubungan antara manager dan bawahan harus baik dan terjaga. Sebisa mungkin ada hubungan dua (2) arah antara manager dan bawahan, bukan hubungan searah dimana manager terus-terusan memberi perintah kepada bawahan tanpa mau mendengar keluhan dan perasaan bawahannya. Bila ada hubungan harmonis seperti keluarga dalam suatu perusahaan maka akan tercipta team kerja yang solid dan kuat dalam menjalankan perusahaan. Jika kebanyakan anggota organisasi sering membuat kesalahan. Sistem pengawasan memungkinkan manajer mendeteksi kesalahan tersebut sebelum menjadi kritis. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan rencana, sehingga pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana dan pegawaipun bisa bekerja dengan baik dan memuaskan.






Komentar

Postingan Populer